Kamis, 10 April 2008

Expo Budaya 2008

Etnis Batak Simalungun ikut berpartisipasi dalam Expo Budaya yang diselenggarakan oleh UKSW Salatiga. Mahasiswa Simalungun ikut dalam kegiatan tersebut yang berupa tarian etnis, masakan etnis,karnaval/pawai keliling salatiga,fashion show,stand etnis,band etnis dan juga tarian kolaborasi dengan etnis Tionghoa. Adapun vokal group bergabung dengan karo dan toba, sebagai etnis batak.
Pada acara/hari pertama,kami mengikuti acara karnaval etnis yang diikuti oleh pasangan Frans Simanjuntak dan Shelly br. Girsang,kemudian kami yang tinggal bersama-sama menghias stand etnis. Kemudian acara selanjutnya adalah Masakan Etnis yang kami masak bersama-sama dengan dibantu oleh Inang Pdt.Y.Saragih yaitu Masakan Khas Simalungun Ayam Na Ni Atur. Malamnya kami mengikuti tarian kolaborasi dengan Etnis Tionghoa yang diikuti oleh : Imanuel Sitio,Jimly Damanik,Jhon Purba,Saud Hutahaean,Monica br Simanjorang,Eva br Saragih,Shelly br Girsang,dan Yuni br Manik. Keesokan harinya,kami mengikuti fashion show pakaian etnis yang diwakili oleh Frans Simanjuntak dan Shelly br Girsang. Malamnya kami mengikuti tarian etnis yang ditampilkan dengan iringan lagu Uhur Marsirahutan dari John Eliaman Saragih. Keesokan harinya kami mengikuti penampilan Band Etnis yang dibawakan oleh Imanuel Sitio(Drum),Games Purba(Gitar),John Purba(Keyboard),Faber Purba(Bass),Yuni br Manik dan Monica br Simanjorang(Vokal), dengan dibantu oleh Indra dari Fakultas Seni Pertunjukan(FSP).
Etnis Simalungun telah mengikuti Expo Budaya ini dengan baik, dan telah memberikan penampilan yang maksimal untuk memberikan hiburan atau kekhasan yang dimiliki oleh Etnis Simalungun. "Habonaron Do Bona"


Minggu, 06 April 2008

Rumah Bolon, Pematang Purba

Sampai di mana perkembangan peradaban sebuah komunitas barangkali dapat ditelusuri lewat kebudayaannya. Dan setidaknya hal inilah yang dapat tergambarkan ketika menjelajahi Rumah Bolon di Desa Purba Kabupaten Simalungun. Ia sekaligus menjadi bukti sejarah eksistensi Kerajaan Purba Simalungun yang sudah berdiri sejak abad ke-15.

Menjelajahi kawasan Simalungun adalah pengalaman tersendiri. Masing-masing bisa memberi kesan tentangnya. Apalagi memasuki Desa Purba, desa kecil di Kecamatan Pematang purba Kabupaten Simalungun.

Jarakanya kira-kira 140 kilometer dari Kota Medan, setelah melalui Kabupaten Karo (Berastagi-Kabanjahe- Merek). Lalu melewati persimpangan menuju Haranggaol dan tibalah Anda di desa yang mayoritas dihuni etnis Simalungun itu. Tetapi, Anda juga bisa memilih akses lain, yakni dengan melalui Kota Pematangsiantar yang jarakya hanya kira-kira 54 kilometer dari sana.

Konon, dulu Desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tertua di Simalungun, yaitu Kerajaan Purba yang hingga akhir kekuasaanya, terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk kekuasaannya. Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah Simalungun.

Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa wilayah: Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematangraya dan Purba. Wilayah ini kemudian didiami oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri.

Rumah Bolon Pematangpurba sendiri merupakan kediaman Raja Purba yang pertama kali diduduki Tuan Pangultop-ultop (1624-1648), yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat. Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.

“Tak diketahui siapa pembunuhnya dan apa pula motifnya,” ujar Wanson. penjaga sekaligus pemandu wisatawan, lokasi bangunan tua yang berdiri di atas lahan seluas 1 hektar itu.
Mengenai tradisi pengalihan kekuasaan, Wanson menjelaskan ada semacam tradisi pengalihan kekuasaan yang wajib dilakukan. Ketika raja hendak mewariskan kekuasaannya, diwajibkan untuk menyembelih seekor kerbau, yang lalu tanduknya disimpan agar kelak menjadi bukti untuk raja yang akan berkuasa kemudian. Setidaknya bukti sejarah itu masih dapat terlihat di mana ada 14 tanduk kerbau yang tergantung di dinding ruangan Rumah Bolon.

Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu? Seperti lazimnya dalam tradisi kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung, maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi Kerajaan Purba. “Bukan harus anak sulung, tetapi siapa keturunan yang bagi raja memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat sebagai penerus kerajaan,” ujar Wanson.

Politik kekuasaan
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di Kerajaan Purba bukanlah Tuan Pangultop-ultop, melainkan Raja Purba Dasuha. Tuan Pangultop-ultop sendiri pada awalnya hanyalah pendatang yang datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan dengan wilayah Pakpak Bharat sekarang.

Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja? Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan pegawai dinas pariwisata Kabupaten Simalungun yang dihunjuk untuk mengawasi bangunan tua itu. Ia menjelaskan, kedatangan Tuan Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan kegemarannya menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.

Konon, suatu ketika di wilayah hutan belantara Purba, ia berhasil menangkap seekor burung Nanggordaha yang kemudian dari tembolok burung itu (terdapat biji padi dan jagung), ia mendapatkan makanannya sendiri. Ketika ia melihat bahwa Purba adalah negeri yang subur, maka ia pun memohon kepada Raja Purba Dasuha untuk diberikan sebidang tanah. Tanah itu kelak ia tanami dengan biji padi dan jagung yang ia dapat dari tembolok burung itu. Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop kepada kejayaan. Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.

Suatu waktu muncullah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan. Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak menyimpan padi dan jagung di lumbungnya, mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.

Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan sebutan “oppung” (kakek atau orang yang dihormati), melainkan panggilan raja. “Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.

Mereka pun memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha. Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka Purba Dasuha pun mengadakan pertemuan dengan Pangultop-ultop. “Jika kamu memang raja, maka buktikanlah,” katanya, seperti yang ditirukan Wanson.

Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha. “Marbijah” (disumpahi) adalah prosesi yang menjadi langkah pembuktian itu. Segenggam tanah, air dan “appang-appang” (kulit kerbau) adalah medianya. Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk mendapatkan ketiganya. Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya ditaruh air yang tertuang dalam tatabu (sejenis tempayan air yang terbuat dari kulit labu). Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang, katanya, “jika tanah dan air yang aku duduki ini bukanlah milikku, maka sekarang juga aku matilah.” Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu. Waktulah yang kemudian menjawabsumpah itu. Meski sudah melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun Pangultop-ultop tidak mati seperti lazimnya sebuah sumpah yang mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya. Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu. “Kuakui, sekarang kamulah raja yang pantas memimpin Kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,” kata Purba Dasuha kemudian.

Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648. Sedang raja terdahulu --Purba Dasuha-- masih dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah. Lalu setelah membalik kembali kisah itu, benarkah ada unsur politis di sana? Sekali lagi ini adalah pengungkapan fakta dari seorang Wanson Purba, yang juga merupakan keturunan Raja Kuraha (panglima raja) Tuan Pangultop-ultop semasa kepemimpinannya. Ia sendiri mengetahui kisah itu dari ayahnya, P Purba yang selama 43 tahun telah menjaga Rumah Bolon.

Wanson pun tak menepis hal itu. “Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan,” katanya. “Pasalnya, tanah dan air serta appang-appang yang digunakan sebagai media sumpah dibawa sendiri olehnya dari tanah asalnya, sehingga memungkinkan ia selamat dari maut.”

Sabtu, 05 April 2008

Marga-marga di Simalungun

Harungguan Bolon
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu:

Sinaga
Saragih
Damanik
Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keempat raja itu adalah:

1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:

Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah:

Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.
Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Saragih Garingging kemudian pecah menjadi 2, yaitu:

Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei
Dajawak, merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.

Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir.

3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.

Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan Simalungun dengan tanah Karo)
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.
Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.

Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.

Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).Tideman, 1922

Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India, salah satunya adalah menrurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara.

Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Nagaland (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.

Selamat Datang

Blog ini adalah sarana komunikasi ataupun informasi mengenai keberadaan Ikatan Perantau Simalungun yang ada di Kota Salatiga,Jawa Tengah.